Skip to content

Perdebatan Tiga Mazhab Utilisasi Data Kependudukan

Jakarta – Soal pemanfaatan data kependudukan yang dikelola Ditjen Dukcapil Kemendagri. Dirjen Dukcapil Prof. Zudan Arif Fakrulloh mengungkapkan sejumlah pergulatan pemikiran di baliknya. Perdebatannya itu begini, data jangan diberikan kepada lembaga manapun termasuk hak akses. Data hanya disimpan saja oleh pemerintah. Inilah kelompok yang bermazhab ‘Privacy Absolut’.

Kelompok kedua pandangannya lebih ke titik tengah. Mereka mengatakan data boleh digunakan tetapi untuk verifikasi: Yes or No. Valid tidak valid, atau akurat tidak akurat data kependudukan seseorang ketika digunakan bertransaksi.

Ada lagi yang berpandangan kategori ketiga: Untuk apa data dikumpulkan kalau tidak dimanfaatkan untuk menuju single identity number.

“Kalau ada layanan publik yang mengharuskan pemohon mengisi formulir, menurut saya itu masa lalu, sudah kuno. Mestinya tidak perlu mengisi formulir lagi, cukup ketik nomor induk kependudukan (NIK) maka data ditransformasikan,” jelas Prof. Zudan saat memberikan uraian soal pemanfaatan data kependudukan sekaligus penandatanganan kerja sama memanfaatan NIK dan KTP elektronik (KTP-el) antara Ditjen Dukcapil dengan PT Solusi Net Internusa, perusahaan penyedia jasa digital signature (Digisign), di Jakarta, Senin (26/8/2019) malam.

Inilah perdebatan di bidang utilisasi data kependudukan. “Banyak sekali yang mengeritik saya, ‘Pak Zudan jangan berikan data’. Saya nggak memberi data langsung, tapi memberikan hak akses data,” tukasnya.

Zudan lebih lanjut dan rinci menjelaskan perbedaan antara memberi data dan memberi hak akses.

“Memberi data itu begini, saya memberikan misalnya 100 ribu elemen data kependudukan, saya tidak bisa mengotrol data itu digunakan untuk apa saja. Tapi kalau saya berikan hak akses, maka data itu diakses satu per satu. Aksesnya bisa dengan data biometrik yaitu bisa dengan data sidik jari, akses data iris mata, atau data face recognition, bisa juga dengan akses data NIK,” urainya.

Zudan kemudian mengajak masyarakat agar memahami ekosistem data kependudukan. Menurut dia, institusi paling kaya data itu adalah Google. Sangat kaya data, lantaran semua data ada di Google.

Coba ketik di laman pencarian Google: KTP elektronik. Dalam waktu 0,44 detik muncul 8.240.000 hasil pencarian. “Ini data kependudukan milik Dukcapil semua, tapi tersebar di mana-mana. Jadi Digisign jangan buru-buru percaya bila ada seseorang meminta tanda tangan digital dengan hanya menyebutkan NIK. Sebab dia bisa menggunakan NIK orang lain,” ujarnya berpesan.

Misalnya, ketik nama Ahmad Faozi dengan NIK sekian-sekian-sekian. Ketika dicek NIK-nya benar ada di database. Persis datanya, karena datanya benar. Tapi ‘who you are’-nya, ‘Benarkah dia yang mengajukan TTD’?

“Jangan-jangan yang minta itu saya dengan mengatasnamakan si Ahmad Faozi ini. Sehingga Ahmad Faozi ini bisa bertransaksi apa pun atas kehendak saya. Bayangkan betapa bahayanya kalau dikatakan bahwa yang punya data kependudukan itu hanya Dukcapil. Tidak seperti itu, Google itu menyimpan data kependudukan dari mana-mana,” katanya menegaskan.

Jadi, kata dia mengingatkan, sekarang tak bisa menggunakan satu verifikator. Harus lebih dari satu verifikator, misalnya NIK dan foto wajah, NIK dan data biometrik.

Itu sebabnya Zudan menyatakan mendukung penuh upaya Digisign memverifikasi secara akurat ‘who you are’. “Ini penting sekali. Nanti menyusul setelahnya verifikasi ‘what you have’ dan ikutannya,” katanya.

Zudan pun tak lupa mengajak para pengguna data kependudukan Dukcapil agar memberikan literasi kepada seluruh masyarakat. “Bantu kami menjelaskan data kependudukan bukan hanya disimpan di Dukcapil satu-satunya. Di Google dalam sekejap mata keluar puluhan juta hasil pencarian data dokumen kependudukan,” kata dia.

Yang lebih seram lagi, bila dikatakan bahwa data nomor HP itu dari Dukcapil. “Coba ketik ‘nomor HP’ di google. Dalam waktu 0,47 detik muncul 133 juta data hasil pencarian. Kok dibilang Dukcapil yang membocorkan nomor HP,” sesal Zudan.

Waktu di Bareskrim Polri yang menangkap pelaku jual beli data, dirinya menanyakan: Apakah si tersangka mendapatkan data nomor hape dan data lainnya itu dari Dukcapil? “Dijawab oleh tersangka: ‘Nggak Pak, saya nggak ambil dari Dukcapil’. Sudah jawaban itu cukup bagi saya. Selebihnya polisi yang interogasi,” cerita Zudan. Dukcapil

(BlackDrg Sarumpun)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *